Kenapa Kita Benci Suara Kita Sendiri ?
Coba rekam suara kalian sendiri, dengarkan dan lalu bandingkan dengan suara kalian sehari-hari. Bagaimana? Apakah kalian menyukainya? Umm… mungkin tidak. Kita mungkin merasa rekaman suara kita terdengar lebih cempreng, melengking, atau bahkan fals dibandingkan suara kita sehari-hari. Seperti yang ditanyakan oleh Yusrizal ini,
Benarkah suara kita memang terdengar seperti itu di telinga orang lain ?
Atau jangan-jangan selama ini kita telah ditipu oleh alat perekam suara ?
Selama alat perekam suara kita tidak rusak, nyatanya memang seperti itulah suara kita terdengar di telinga teman-teman kita. Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, mari kita mengingat kembali pelajaran IPA.
Saat kita bicara, suara kita akan merambat sebagai gelombang di udara. Agar dapat dikenali sebagai suara kita, gelombang tersebut harus melalui perjalanan panjang menuju otak teman kita. Pertama-tama, gelombang ditangkap oleh daun telinga dan disalurkan melalui kanal panjang menuju gendang telinga. Di sinilah gelombang diubah menjadi getaran. Selanjutnya, getaran tersebut harus menjelajahi tiga tulang pendengaran. Begitu tiba di koklea atau rumah siput, frekuensi atau banyaknya jumlah getaran akan disesuaikan. Akhirnya, getaran dibawa menuju otak untuk diproses dan dikenali.
Pada waktu yang sama, hal berbeda terjadi pada kita. Rupanya otak kita tidak hanya memproses getaran dari suara kita yang merambat di udara. Saat bersuara, pita suara kita memproduksi getaran yang dapat merambat melalui tulang-tulang. Begitu sampai di tengkorak, ruang akustik rongga kepala kita menurunkan frekuensi getaran sebelum dikirim ke sistem pendengaran dalam kita. Akibatnya, otak kita menerjemahkan getaran tersebut menjadi suara yang lebih nge-bass, bulat, dan merdu. Jadi, sementara teman kita hanya mendengar dari satu sumber suara, kita mendengar dari perpaduan 2 sumber berbeda.
Jadi, kalau selama ini kita merasa punya suara terindah sedunia, mungkin kita memang cuma besar kepala saja. Nyatanya, otak kita memang tidak punya rumus pasti dalam menentukan apa yang kita suka maupun tidak. Menurut ahli matematika dan filsuf penerima penghargaan nobel bernama Bertrand Russel, persepsi atau cara kita menilai segala sesuatu sangat ditentukan oleh pengalaman kita.
Umumnya, kita lebih menyukai hal yang sudah akrab daripada yang masih asing. Hal ini sangat wajar. Jangankan kita yang bersuara jelata, para diva bersuara dewa pun mungkin membenci rekaman suara mereka sendiri.
Bagaimanapun, ada kabar gembira untuk kita semua. Bagi keluarga dan teman-teman kita, justru suara rekaman yang kita benci itulah yang akrab di telinga mereka. Jadi, tanpa perlu susah payah kursus olah vokal untuk memerdukan suara, mereka akan tetap mencintai suara kita apa adanya. Dan seperti biasa, terima kasih.
Coba rekam suara kalian sendiri, dengarkan dan lalu bandingkan dengan suara kalian sehari-hari. Bagaimana? Apakah kalian menyukainya? Umm… mungkin tidak. Kita mungkin merasa rekaman suara kita terdengar lebih cempreng, melengking, atau bahkan fals dibandingkan suara kita sehari-hari. Seperti yang ditanyakan oleh Yusrizal ini,
Benarkah suara kita memang terdengar seperti itu di telinga orang lain ?
Atau jangan-jangan selama ini kita telah ditipu oleh alat perekam suara ?
Selama alat perekam suara kita tidak rusak, nyatanya memang seperti itulah suara kita terdengar di telinga teman-teman kita. Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, mari kita mengingat kembali pelajaran IPA.
Saat kita bicara, suara kita akan merambat sebagai gelombang di udara. Agar dapat dikenali sebagai suara kita, gelombang tersebut harus melalui perjalanan panjang menuju otak teman kita. Pertama-tama, gelombang ditangkap oleh daun telinga dan disalurkan melalui kanal panjang menuju gendang telinga. Di sinilah gelombang diubah menjadi getaran. Selanjutnya, getaran tersebut harus menjelajahi tiga tulang pendengaran. Begitu tiba di koklea atau rumah siput, frekuensi atau banyaknya jumlah getaran akan disesuaikan. Akhirnya, getaran dibawa menuju otak untuk diproses dan dikenali.
Pada waktu yang sama, hal berbeda terjadi pada kita. Rupanya otak kita tidak hanya memproses getaran dari suara kita yang merambat di udara. Saat bersuara, pita suara kita memproduksi getaran yang dapat merambat melalui tulang-tulang. Begitu sampai di tengkorak, ruang akustik rongga kepala kita menurunkan frekuensi getaran sebelum dikirim ke sistem pendengaran dalam kita. Akibatnya, otak kita menerjemahkan getaran tersebut menjadi suara yang lebih nge-bass, bulat, dan merdu. Jadi, sementara teman kita hanya mendengar dari satu sumber suara, kita mendengar dari perpaduan 2 sumber berbeda.
Jadi, kalau selama ini kita merasa punya suara terindah sedunia, mungkin kita memang cuma besar kepala saja. Nyatanya, otak kita memang tidak punya rumus pasti dalam menentukan apa yang kita suka maupun tidak. Menurut ahli matematika dan filsuf penerima penghargaan nobel bernama Bertrand Russel, persepsi atau cara kita menilai segala sesuatu sangat ditentukan oleh pengalaman kita.
Umumnya, kita lebih menyukai hal yang sudah akrab daripada yang masih asing. Hal ini sangat wajar. Jangankan kita yang bersuara jelata, para diva bersuara dewa pun mungkin membenci rekaman suara mereka sendiri.
Bagaimanapun, ada kabar gembira untuk kita semua. Bagi keluarga dan teman-teman kita, justru suara rekaman yang kita benci itulah yang akrab di telinga mereka. Jadi, tanpa perlu susah payah kursus olah vokal untuk memerdukan suara, mereka akan tetap mencintai suara kita apa adanya. Dan seperti biasa, terima kasih.
comment 0 comments
more_vertShare dibawah :)